Home » , , » Review Film: 9 Summers 10 Autumns - Perjalanan Bermusim-musim Menuju Rumah

Review Film: 9 Summers 10 Autumns - Perjalanan Bermusim-musim Menuju Rumah


Saya pernah mendengar seseorang yang telah berada di puncak kesuksesan memutuskan turun gunung suksesnya. Kemudian ia mencari gunung lain yang lebih tinggi, mendakinya hingga ke puncak. Ia turun lagi demi gunung lain yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Hingga tak disadarinya, ia lupa rumah, lupa pulang ke asalnya.

Di lain kesempatan, saya menyaksikan perjalanan seseorang bermusim-musim, melewati 9 musim panas dan 10 musim gugur untuk kembali ke asalnya. Adalah Bayek (panggilan keluarga Iwan Setyawan) si orang sukses itu. Tak mudah menduduki kursi direktur di sebuah perusahaan besar yang bermarkas di jantung kota New York. Mendudukinya saja sulit, apalagi untuk meninggalkannya. Kesuksesan kebanyakan berhasil membuat sebagian orang lupa kulit. Tidak demikian dengan Bayek, di puncak karirnya itu, Bayek kecil memanggilnya pulang ke Indonesia. 




Di New York, entah bagaimana Bayek kecil (Shafil Hamdi Nawara) berseragam putih-merah menemui Bayek dewasa (Ihsan Taroreh). Seolah ia datang mengingatkannya tentang sesuatu. Kemudian film bergulir ke masa kecil Bayek. Ketika ia menjadi satu-satunya anak lelaki yang dididik ayahnya (Alex Komang) menjadi kuat secara mental dan fisik agar mampu menjadi penopang keluarganya jika dewasa nanti. Sementara itu Bayek kecil adalah anak lanang (anak lelaki) yang lebih suka membantu ibunya (Dewi Irawan) di dapur.  

Bayek kecil dan ketiga saudara perempuannya (Agni Pratista, Dira Sugandi, dan Ida Ayu W.P) terbilang anak-anak cerdas yang memiliki prestasi tinggi di sekolahnya. Sayang, ayah tidak menganggap peringkat satu yang berhasil diraih Bayek adalah sesuatu yang membanggakan. Ayah lebih senang jika Bayek membantunya jadi kenek, ayah adalah seorang supir angkot di Batu, Malang.

Sikap konvensional ayah, kesabaran ibu, dan keberanian Bayek membawanya menjadi seorang sarjana IPB cum laude dan berhasil menjadi tulang punggung keluarganya di New York. Kisah hidup Iwan Setyawan yang diangkat dari novel autobiografi ini sejak awal diniatkan sutrdaranya, Ifa Isfansyah untuk tidak menjual air mata ‘ratapan kemiskinan’ sepanjang running time. 

Iwan berhasil ‘mengalahkan’ ayahnya dengan mencapai pendidikan setinggi-tingginya demi terlepas dari kemiskinan. Ia percaya (pesan ini disampaikan secara eksplisit) bahwa ketakutan tertinggi seorang manusia adalah menjadi bodoh, bukan menjadi miskin. Ayah yang memiliki latar belakang sekolah rendah beranggapan bahwa pendidikan bukanlah segalanya. Lantas, ketika Ibu dan Ayah bertengkar perihal niat Bayek melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi, Bayek bertekad untuk melangkahi semua penghalang. Pada akhirnya hati ayah luluh. Ia menjual angkot, satu-satunya sumber penghidupan keluarganya demi biaya kuliah Bayek di IPB. 

Jika sebelumnya kita pernah menyaksikan cerita senada, seperti ‘Laskar Pelangi’ (Riri Riza, 2008) yang berjuang demi pendidikan melawan seluk-beluk sistem pendidikan yang buruk, Bayek justru mendapatkan tantangan luar biasa dari ayahnya. Bayek melawan sistem pemikiran orang-orang terdahulu yang skeptis akan kekuatan pendidikan. 

Saya mengangkat topi atas keberanian salah satu produsernya, Edwin Nazir. Sebagai film layar lebar perdana yang mengambil lokasi syuting di luar negeri, film ini saya hitung cukup berhasil. Lanscape-lanscape menakjubkan di sepanjang taman perkotaan New York ditampilkan elegan dan cantik dengan daun-daun kecokelatan yang berguguran. Sebagai penikmat film, saya hanya kurang puas di bagian ‘kesuksesan Iwan di New York’ yang ditampilkan seadanya dengan scene-scene ruang kantor sederhana dan ‘kegalauan’ jiwa Iwan saat ia menelusuri jalan-jalan di New York. Ekspektasi saya meminta adegan-adegan yang patriotik dan penuh kepuasan jiwa saat Iwan berhasil menyelamatkan perusahaan dari berbagai problem di sana, misalkan.

Di luar dari kelemahan di atas, ‘9 Summers 10 Autumns’ menjadi film beruntung yang memainkan aktor-aktor senior dan tentu berkualitas akting teruji. Kita sebut saja Alex Komang, Dewi Irawan, Ria Irawan, Epy Kusnandar, dan Ence Bagus yang bermain apik. Penampilan mereka membuat film ini terasa renyah sekaligus menyentuh. 

Sebagai film adapatasi novel keduanya, Ifa Isfansyah terlihat bermain rapi dan dewasa dengan materi yang lebih mudah dari ‘Sang Penari’ (2010) yang diangkat dari Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sebelumnya. Sutradara tidak ‘memaksakan’ penggunakaan teknis lebih dengan embel-embel lokasi syuting di luar negeri. Cerita pun bertutur rapi dengan adegan flashback yang dimunculkan tepat waktu hingga tidak membingungkan. 

Kekuatan lain ‘9 Summers 10 Autumns’ adalah adegan-adegan surreal berisi percakapan Bayek kecil dan Bayek dewasa. Ada nuansa ‘tarik-menarik’ ideologi dan prinsip di dalamnya. Ketikan Bayek kecil mengingatkan masa lalunya dan respon-respon yang diberikan Iwan Setyawan. Kadang ia terharu, seketika menjadi bimbang. Yap, masa lalu memang begitu adanya. Saya tidak bisa membayangkan sedatar apa jadinya ‘9 Summers 10 Autumns’ tanpa treatment surreal ini.  

Pada akhirnya kerendahan hatilah yang ditunjukkan si tokoh utama, Iwan menolak jabatannya sebagai direktur dan kembali ke kota asalnya di Malang. Keputusan yang luar biasa hebat untuk seorang pendaki yang telah mencapai segalanya di puncak. Selamat!

@strRezz



0 comments:

Post a Comment